Rabu, 26 Juni 2013

Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen merupakan hak warga negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya, khusunya atas produk yang halal dan baik. Sehingga dalam menentukan aturan hukum tersebut diperlukan adanya campur tangan negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut telah disahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

1.  PENGERTIAN
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Dalam bukunya, Pengantar Hukum Bisnis, Munir Fuady mengemukakan bahwa konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan/atau jasa yang terrsedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. Sedangkan menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.

2.  DASAR HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Di Indonesia dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
a.       UUD 1945 pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), pasal 27, dan pasal 33.
b.      UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran Negara RI No. 3821).
c.       UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
d.      UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
e.       PP No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
f.       Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 tentang Penanganan Pengaduan Konsumen yang ditujukan kepada seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
g.      Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.

3.  JENIS-JENIS KONSUMEN
Konsumen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.       Konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan komersial (intermediate consumer, intermediate buyer, derived buyer, consumer of industrial market).
b.      Konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan diri sendiri/keluarga/non komersial (Ultimate consumer, Ultimate buyer, end user, final consumer, consumer of the consumer market).
  
4.  ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
a.       Asas Manfaat. Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b.      Asas Keadilan. Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memberikan haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c.       Asas Keseimbangan. Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
d.      Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen. Dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e.       Asas Kepastian Hukum. Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sedangkan tujuan dari perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
a.       Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c.       Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e.       Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f.       Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen.

5.  HAK  DAN  KEWAJIBAN  KONSUMEN
Hukum, khususnya hukum ekonomi mempunyai tugas untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pengusaha, masyarakat, dan pemerintah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi nasional pada era globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana penting kesejahteraan rakyat, dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Selanjutnya, upaya menjaga harkat dan martabat konsumen perlu didukung peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
 Dalam Pasal 4 UUPK mengatur hak-hak dari konsumen. Hak-hak konsumen tersebut adalah:
a.    Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b.   Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c.    Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d.   Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e.    Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f.    Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g.   Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h.   Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan tidak sebagaimana mestinya.
i.     Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lain.
Selanjutnya pasal 5 UUPK mengatur kewajiban konsumen, yaitu:
a.    Membaca  atau  mengikuti  petunjuk  informasi  dan  prosedur  pemakaian  atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b.   Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c.    Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d.   Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6.        HUKUM TERTULIS YANG  BERKAITAN  DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sejak zaman penjajahan Hindia Belanda sudah ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, misalnya sebagai berikut:
a.    Vuurwerk Ordonnantie (Ordonasi Petasan), S. 1932-143.
b.   Sterkwerkannde Geneesmiddelen Orgonnantie (Ordonasi Obat Keras), S. 1937-641.
c.    Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonasi Bahan-Bahan Berbahaya), S. 1949-377.
d.   Tin Ordonnantie (Ordonasi Timah Putih), S. 1931-509.
e.    Verpakkings Ordonnantie (Ordonasi Kemasan), S. 1935 No. 161.
 Setelah kemerdekaan, walaupun Undang-Undang yang membahas secara khusus tentang perlindungan konsumen belum ada, tetapi dalam peraturan perundang-undangan telah dijelaskan secara parsial yang berhubungan dengannya, misalnya:
a.    Undang-Undang Pokok Kesehatan, UU No. 9 Tahun 1960.
b.   Undang-Undang Barang, UU No. 10 Tahun 1961.
c.    Undang-Undang Narkotika, UU No. 9 Tahun 1976.
d.   Undang-Undang Lingkungan Hidup, UU No. 4 Tahun 1982.
e.    Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3 Tahun 1982.
Selain itu juga disebutkan mengenai perlindungan konsumen dalam peraturan perundang-undangan terutama dalam UUD 1945 pasal 33 dan 27, serta dalam Pancasila sila 2 dan sila 5.

7.  POSISI     HUKUM     PERLINDUNGAN     KONSUMEN     DALAM PERDAGANGAN BEBAS
Situasi akhir-akhir ini yang mendesak pemerintah dan pelaku usaha untuk segera memulihkan kegiatan bisnis dan perekonomian sering kali dihadapkan pada persoalan perlindungan konsumen. Pasokan barang dan jasa melalui kegiatan promosi yang gencar tidak selamanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat, dan bahkan seringkali mengakibatkan masyarakat menjadi korban. Sifat berfikir objektif sering dikalahkan oleh kegiatan promosi yang dikemas sedemikian rupa sehingga mengubur sikap rasional konsumen. Situasi dan kodisi yang mengharuskan Indonesia terlibat secara aktif dalam pasar bebas dan globalisasi semakin membuat masalah yang dihadapi konsumen semakin kompleks. Melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994, Negara kita telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
Dalam aturan-aturan yang ditetapkan WTO, sebenarnya perlindungan konsumen lebih mendapat perhatian dan perlindungan hukum, misalnya perlindungan hak kekayaan intelektual, standar-standart barang dan jasa yang diperdagangkan, serta sanksi bagi negara-negara yang memproduksi barang dan jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam TRIPs (Trade Related Intelectual Properties) antara lain disebutkan bahwa negara anggota wajib melaksanakan ketentuan tentang penggunaan merek sebagai upaya untuk melindungi konsumen sebagai korban peniruan merek. Selain itu, pada peraturan yang tercantum dalam GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) mengisyaratkan pencantuman indikator atas asal barang impor sebagai upaya untuk melindungi konsumen.
8.   LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
8.1        Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Di Indonesia gema dari perlindungan konsumen baru mulai didengungkan pada tahun 1970-an, terutama setelah berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) bulan Mei 1973. Organisasi ini bertindak atas dasar pengabdian kepada kehidupan manusiawi, dengan Nyonya Lasmidjah Hardi sebagai pimpinannya. Historis dari lahirnya YLK ditandai oleh rasa mawas diri terhadap gemuruhnya kancah promosi, yakni promosi untuk memperlancar perdagangan barang-barang dalam negeri.
Nyonya Lasmidjah Hardi sebelumnya adalah ketua ‘Pekan Swa Karya’, yaitu suatu kegiatan berupa aksi promosi terhadap berbagai barang dalam negeri. Kegiatan dari ‘Pekan Swa Karya’ ini menimbulkan munculnya ssuara-suara dari masyarakat, terutama dari pihak pers untuk mengimbangi usaha-usaha promosi tersebut dengan  langkah-langkah pengawasan agar kualitasnya tetap terjamin dan masyarakat konsumen tidak dirugikan.
Dengan adanya tanggapan dari pihak pers dan masyarakat tersebut, maka kegiatan ‘Pekan Swa Karya’ mulai memikirkan usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk melindungi konsumen. Sejumlah tokoh-tokoh masyarakat kemudian mulai bergerak untuk merealisasikan dan mencari bentuk terhadap masalah perlindungan konsumen. Tokoh-tokoh tersebut mengadakan temu bicara dengan beberapa kedutaan asing, dengan Departemen Perindustrian, dengan DPR, dan beberapa tokoh masyarakt lainnya. Hasil dari kegiatan tersebut akhirnya melahirkan suatu perkumpulan konsumen di Indonesia yang diberi nama ‘Yayasan Lembaga Konsumen’. Landasan dan arah Perjuangan YLK sendiri pada dasarnya adalah melindungi konsumen, menjaga martabat produsen, dan membantu pemerintah.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia disingkat YLKI adalah organisasi non-pemerintah dan nirlaba yang didirikan di Jakarta pada tanggal 11 Mei 1973. Tujuan berdirinya YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya..
Pada awalnya, YLKI berdiri karena keprihatinan sekelompok ibu-ibu akan kegemaran konsumen Indonesia pada waktu itu dalam mengkonsumsi produk luar negeri. Terdorong oleh keinginan agar produk dalam negeri mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia maka para pendiri YLKI tersebut menyelenggarakan aksi promosi berbagai jenis hasil industri dalam negeri.
8.2        Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang selanjutnya disebut LPKSM adalah Lembaga Non Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Tugas LPKSM  meliputi kegiatan:
a.       Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b.      Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan.
c.       Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.
d.      Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
f.       Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

9.  SENGKETA DAN PERANAN PENGADILAN
Perbedaan kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha mengakibatkan kemungkinan terjadinya sengketa konsumen cukup besar. Jika ada keluhan terhadap produknya, pelaku usaha akan mengupayakan penyelesaian tertutup, sedangkan konsumen berkepentingan agar penyelesaian dilakukan lewat saluran umum supaya tuntas. Cara penyelesaian sengketa konsumen secara khusus sesuai UUPK memberikan berbagai manfaat bagi konsumen maupun juga bagi pelaku usaha, bahkan juga pemerintah, yaitu:
a.    Mendapat ganti rugi atas kerugian yang diderita.
b.   Melindungi konsumen lain agar tidak mengalami kerugian yang sama, karena dengan satu orang mengadu sesuai prosedur, sejumlah orang lainnya akan dapat tertolong.
c.    Menunjukkan sikap kepada masyarakat pelaku usaha supaya lebih memperhatikan kepentingan konsumen.
d.   Pengaduan dapat dijadikan tolok ukur dan titik tolak untuk perbaikan mutu produk dan memperbaiki kekurangan lain yang ada.
e.    Dapat dijadikan informasi dari adanya kemungkinan produk tiruan.
Berdasarkan pasal 46 ayat (1) UUPK dinyatakan bahwa setiap gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a.    Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b.   Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c.    Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
d.   Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Jika pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Oleh karena itu jelaskalah bahwa untuk menyelesaikan sengketa dapat dilakukan melalui badan di luar sistem peradilan yang disebut BPSK atau melalui pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen.

            9.1        Penyelesaian Sengketa melalui BPSK
                        a.          Tugas dan Wewenang BPSK
Berdasarkan UUPK Pasal 52 menyebutkan bahwa tugas dan wewenang BPSK meliputi:
1.      Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
2.      Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
3.      Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
4.      Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.
5.      Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
6.      Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.
7.      Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
8.      Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini.
9.      Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada angka (7)  dan (8), yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen.
10.  Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
11.  Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen.
12.  Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
13.  Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
                        b.         Prosedur Penyelesaian Sengketa melalui BPSK
Untuk menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis dengan jumlah anggota berjumlah ganjil yang terdiri dari sedikitnya tiga orang yang mewakili semua unsur, dan dibantu seorang panitera. Dalam hal ini BPSK diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen dalam jangka waktu 21 hari terhitung sejak gugatan diterima oleh BPS. Penyelesaian sengketa melalui BPSK ini dikhususkan bagi konsumen perorangan yang memiliki perselisihan dengan pelaku usaha dengan sifat penyelesaian yang cepat dan murah.

            9.2        Penyelesaian Sengketa melalui Pengadilan
                  a.      Prosedur
Di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang. Penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan ini dilakukan dengan 3 tahap. Tahap permulaan dengan mengajukan gugatan sampai dengan jawab jinawab. Tahap penentuan dimulai dari pembuktian sampai dengan putusan, dan tahap pelaksanaan adalah pelaksanaan putusan. Setiap tahap tersebut memerlukan waktu relatif lama, mahal dan prosedur yang cukup rumit.
                  b.      Upaya hukum di pengadilan
Walaupun putusan yang dijatuhkan majelis BPSK bersifat final dan mengikat, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri untuk diputus dalam waktu 21 hari dengan waktu 14 hari untuk mengajukan kebertan ke pengadilan negeri. Terhadap putusan pengadilan negeri ini dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI yang akan diputus dalam waktu 30 hari, dengan waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi.